Oleh: Hasanul Rizqa
Masjid al-Aqsha al-Mubarak berlokasi di Kota al-Quds atau Baitul Maqdis, Palestina. Mahdy Saied menjelaskan dalam buku Fadhailu al-Masjidi al-Aqsha wa Madinati Baiti al-Maqdisi wa ar-Raddu ‘alaa Mazaa'imi al-Yahudi, masjid tersebut telah berusia amat tua. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diriwayatkan Bukhari-Muslim, al-Aqsha merupakan masjid kedua yang dibangun di muka bumi, yakni setelah Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah.
Dalam berbagai kitab tafsir, seperti karya ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan al-Qurthubi, disebutkan bahwa yang pertama kali membangun Masjid al-Aqsha ialah para malaikat. Berdasarkan perintah dan izin dari Allah SWT, mereka menentukan tempat dan menggariskan lokasi bangunan suci tersebut.
Bagaimanapun, kata Mahdy, umumnya ulama berpendapat bahwa Nabi Adam-lah yang mula-mula mendirikan al-Aqsha. Itu dilakukannya sesuai dengan wahyu dari Allah Azza wa Jalla. Tidak ada bukti-bukti yang pasti mengenai bentuk bangunannya. Sepeninggalan sang manusia pertama, eksistensi masjid tersebut tergerus arus waktu.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah untuk merenovasi Masjid al-Aqsha serta meninggikannya. Sesudah memindahkan istri dan bayinya, yakni Siti Hajar dan Ismail AS, dari Palestina, sang Khalilullah juga membangun Ka’bah di Bakkah atau Makkah al-Mukarramah. Maka dari itu, sosok berjulukan “bapak para nabi” itu adalah yang pertama-tama merenovasi dua masjid suci sekaligus.
Arab lebih dahulu
Menurut Mahdy, Tanah al-Quds pada masa Nabi Ibrahim AS dikuasai seorang raja yang bernama Malki Shadiq. Penguasa itu meyakini bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah, Zat Yang Maha Esa, Mahakuasa. Maka begitu sang nabi datang ke kotanya, ia pun langsung menyambutnya dengan ramah dan menyatakan beriman kepada ajaran beliau. Renovasi yang dilakukan salah seorang rasul Ulul Azmi itu terjadi sekira tahun dua ribu sebelum Masehi (SM).
Malki Shadiq merupakan keturunan Suku Kan’an. Mahdy mengatakan, kelompok etnis itu termasuk rumpun bangsa Arab. Mereka diduga telah menghuni Palestina sejak tahun 10 ribu SM. Orang-orang itu membangun peradaban dan kebudayaan Arab di Tanah al-Quds. Bahkan, tidak hanya kota tersebut. Wilayah kekuasaannya juga mencakup daerah-daerah sekitar, seperti Jericho, Gaza, Nablus, dan al-Khalil.
Dengan demikian, lanjut Mahdy, bangsa Arab Kan’an—dan bukan Yahudi karena datang lebih belakangan—merupakan penghuni awal Negeri Palestina. Definisi “Arab” di sini mesti dikaitkan dengan generasi-generasi yang datang sebelum Ismail bin Ibrahim AS, yakni keturunan Sam bin Nuh AS. Mengutip KH Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW (2001), kata arab sama artinya dengan rahlah, yakni ‘mengembara.’ Bangsa Arab dinamakan demikian karena mereka termasuk bangsa yang gemar mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
Sejarahnya dapat ditelusuri sejak zaman Nabi Nuh AS. Sang rasul memiliki tiga putra, yaitu Sam, Yafits, dan Ham. Masing-masing menurunkan bangsa-bangsa dengan warna kulit tersendiri. Yang dinamakan “bangsa Arab”, lanjut Chalil, masuk ke dalam golongan bangsa Semit, yakni berasal dari keturunan Sam—yang darinya diambil nama Semit. Kebanyakan ahli riwayat meyakini, daerah yang pertama-tama dihuni keturunan Sam bin Nuh ialah lembah Sungai Eufrat dan Tigris, Irak.
Dari sana, di antara mereka ada yang bermigrasi ke banyak daerah sekitar, seperti Jazirah (Arab), Etiopia, dan juga Palestina. Negeri di sebelah timur Mediterania itu tak semuanya subur. Umumnya, kondisi tanah berbukit-bukit, beriklim gurun, serta jarang dialiri sumber air yang melimpah. Karena itu, karakteristik mereka menjadi nomaden. Suku bangsa ini suka mengembara ke lokasi mana saja di dalam negeri tersebut yang sesuai untuk keperluan hidup sehari-hari dan hewan ternaknya.
Israil mengukir sejarah
Suku Kan’an memiliki sejarah hingga beberapa ribu tahun SM. Antara tahun 7.500 dan 6.000 SM, menurut Mahdy, ada satu kabilah dari Kan’an yang berpindah ke lokasi tempat (fondasi) al-Aqsha berada. Kabilah ini bernama Yebus. Mereka lalu mendirikan kota di sana sesuai namanya sendiri, yakni Yebus. Dan, mereka pun mengetahui dari tuturan nenek moyangnya bahwa lokasi (fondasi) al-Aqsha tersebut adalah tanah suci.
Dari generasi ke generasi, mereka hidup di kota tersebut. Datanglah suatu masa ketika mereka dipimpin seorang raja bernama Salim al-Yabusi. Ia mendirikan sebuah bangunan di arah tenggara (fondasi) al-Aqsha. Sejak itu, Salim mengganti nama kota Yebus menjadi Ursaaliim yang berarti ‘Kota Salim’ atau ‘Kota Keselamatan’. Dari nama ini, kelak orang-orang Yahudi mendapat sebutan bagi Baitul Maqdis, yakni Yerusalem. Padahal, nama Ursaaliim sudah ada jauh sebelum bangsa Israil lahir. Untuk diketahui, Israil adalah gelar bagi Nabi Yaqub yang berarti ‘dia yang menyeru Tuhannya.’
Setelahnya, muncul raja bernama Malki Shadiq memimpin suku Kan’an. Dialah yang menyambut kedatangan Nabi Ibrahim, yang hijrah dari lembah Eufrat-Tigris, Irak. Sesampainya di Palestina, Ibrahim AS menyebut keturunannya sebagai orang-orang Ibri. Nama itu berasal dari kata abara yang berarti ‘memotong jalan’ atau ‘menyeberang lembah’. Maksudnya, dahulu beliau dan keluarganya datang dengan menyeberangi Sungai Eufrat untuk sampai ke Palestina, sesuai petunjuk wahyu. Dari nama Ibri itulah muncul istilah Ibrani atau Hebrew.
Sepeninggalan Ibrahim AS, dua orang putranya—Ismail dan Ishaq—meneruskan dakwah tauhid. Nabi Ismail tinggal di Makkah, Jazirah Arab. Adapun Ishaq di Palestina bersama bangsa Kan’an. Untuk jangka waktu lama, bangsa ini beserta keturunan Ibrahim AS hidup dalam damai dan kesejahteraan.
Sejak 1.800 SM, Mesir ditaklukkan bangsa Hyksos. Sekira 200 tahun kemudian, Palestina pun jatuh ke tangan bangsa tersebut. Nabi Yusuf hidup di Mesir sekitar tahun 1630-1520 SM. Nabi Musa AS, yang diperkirakan hidup sekitar tahun 1212 SM, berhasil membawa Bani Israil—yakni keturunan Nabi Yaqub bin Ishaq—keluar dari Mesir. Namun, umat beliau enggan memasuki Negeri Palestina (QS al-Maidah: 24).
Berpuluh-puluh tahun kemudian, barulah Bani Israil bisa memasuki Palestina. Mereka dipimpin Nabi Yusya bin Nun, yang waktu mudanya begitu setia mendampingi Musa AS. Namun, kaum ini hanya mampu menduduki Jericho, tidak berhasil menguasai Tanah al-Quds.
Selanjutnya, Allah mengangkat Daud AS sebagai nabi-Nya untuk Bani Israil. Beliau bersama Thalut berhasil mengalahkan kepala suku Kan’an, Jalut. Mahdy mengatakan, kalaulah saat itu bangsa Kan’an tak terjerumus dalam kesyirikan, tidak mungkin Daud memeranginya. Selama 39 tahun, Daud memimpin kaumnya dengan beribu kota di al-Quds—yang namanya kemudian lebih masyhur saat itu sebagai Kota Daud.
Israil pasca-Sulaiman
Penerus Daud ialah putranya, Sulaiman AS. Pada masanya, al-Aqsha didirikan menjadi bangunan besar dan indah. Inilah untuk pertama kalinya Bani Israil memiliki kerajaan sendiri yang berpusat di al-Quds. Begitu Sulaiman wafat, negeri itu pecah menjadi dua. Bagian utara yakni Kerajaan Samirah (Israel) berpusat di Nablus, sedangkan bagian selatannya—Kerajaan Yehuda—di Ursaaliim alias Yerusalem (al-Quds). Mulai saat itu, kemusyrikan kembali melanda mereka. Banyak pula dari Bani Israil yang membangkang kepada Allah dan bahkan membunuh nabi-nabi.
Kira-kira tahun 700 SM, bangsa Asyira menyerang Samirah. Nyaris semua Bani Israil setempat dibawa ke Irak sebagai budak. Hanya sedikit yang tersisa, yakni di Nablus. Di kota tersebut, bahkan hingga kini keturunannya bisa dijumpai. Mereka menolak eksistensi Israel, yakni “negara” zionis, dan menyebut dirinya sebagai bangsa Palestina.
Pada 587 SM, bangsa Babilonia yang dipimpin Nebukadnezar menyerang al-Quds. Masjid al-Aqsha yang dibangun Sulaiman AS dihancurkannya. Tak kurang dari 70 ribu Bani Israil dibawa ke Babilonia selaku budak.
Pada 546 SM, Koresh Agung (Cyrus the Great) menguasai al-Quds. Berbeda dengan rezim Babilonia, pemimpin bangsa Persia itu membebaskan Bani Israil untuk kembali dan membangun al-Aqsha. Karena itu, nama raja ini begitu harum dalam riwayat-riwayat sejarah Israil.
Antara abad ketiga dan pertama SM, al-Quds jatuh bangun dikuasai bangsa-bangsa dari Yunani. Ada masanya Bani Israil bisa hidup tenang di sana, tetapi ada kalanya dipersekusi. Sejak tahun 66 SM, Imperium Romawi menguasai Palestina, termasuk al-Quds. Demikianlah keadaannya hingga Nabi Isa AS lahir dan berlanjut pada masa Nabi Muhammad SAW hidup.
Pada 614 M, Persia mengalahkan Romawi Timur (Bizantium) sehingga jatuhlah Palestina ke rezim Majusi itu. Kemenangan tersebut membuat senang orang-orang musyrik. Namun, Allah mewahyukan kepada Nabi SAW bahwa suatu saat Romawi akan kembali berjaya (QS ar-Rum: 1-3). Benarlah nubuat tersebut. Pada 629 M, Bizantium kembali merebut Palestina.
Rasulullah SAW bersabda bahwa satu dari enam tanda kiamat ialah penaklukan al-Quds oleh umat Islam. Prediksi beliau terbukti benar pada masa amirulmukminin, Umar bin Khattab, tahun 637 M. Sejak itu, ratusan tahun lamanya kota suci tersebut berada dalam kekuasaan Islam, yakni antara tahun 637-1967 M; dari satu penguasa Muslim ke penguasa Muslim lainnya. Perkecualian ialah selama 103 tahun ketika al-Quds dicaplok Pasukan Salib pada masa-masa antara tahun 1099-1244.
Ilusi Bernama Haikal Sulaiman
Sebagian kalangan Yahudi, terutama kelompok zionis, mengeklaim Masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina, sebagai lokasi Kuil (Haikal) Sulaiman (Solomon’s Temple). Dan, mereka pun berambisi untuk merobohkan al-Aqsha agar di sana dapat dibangun tempat ibadah yang diidamkannya.
Mahdy Saied menuturkan dalam buku Fadhailu al-Masjidi al-Aqsha, Haikal Sulaiman itu hanyalah mitos yang digembar-gemborkan zionis. Tambahan pula, Nabi Sulaiman merupakan seorang utusan-Nya. Tidak mungkin putra Daud AS itu mendirikan sebuah kuil, sebagimana dituduhkan sebagian Yahudi. (Bahkan, mereka menyebut dalam riwayat-riwayatnya bahwa Sulaiman AS adalah anak hasil zina!)
Menurut Yahudi yang meyakininya, Haikal Sulaiman bukan sebuah tempat ibadah, melainkan rumah tempat Tuhan (Yahweh) berdiam. Dalam bahasa Ibrani, sebutannya adalah Heikhal atau lengkapnya, Beit Ha Mikdash, ‘rumah Yahweh.’ Ukuran Haikal, sebagaimana disebutkan dalam kitab mereka ialah panjang 30 m, lebar 10 m, dan tinggi 15 m.
Mereka mengeklaim, Sulaiman membangun Haikal pada 960 SM sebagai “rumah bagi Tuhan” dan tempat penyembelihan. Lokasinya ada di atas bukit tempat ash-Shakhrah kini. Karena itu, kawasan itu disebut Yahudi sebagai Bukit Haikal. Sementara, Muslimin menyebutnya bukit Baitul Maqdis karena di atasnya ada Masjid al-Aqsha.
Mahdy mengatakan, orang yang pertama kali menarik perhatian Yahudi terhadap ide pembangunan Haikal adalah Musa bin Maimun. Dokter Yahudi yang sempat bekerja pada Bani Umayyah di Andalusia ini pernah berziarah ke al-Quds pada 1267 M. Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada 1560 M, seorang rabi merekayasa ide ritual menangis di tembok Masjid al-Buraq—bagian dari Kompleks al-Aqsha. Alasannya, tembok itu diklaimnya bagian dari sisa-sisa Haikal Sulaiman. Inilah yang sekarang populer sebagai Tembok Ratapan.
Sumber satu-satunya perihal Haikal ialah Taurat. Padahal, kitab itu sudah mengalami distorsi akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab dari kalangan Yahudi. Utamanya, sejak Babilonia menyerang al-Quds pada 587 SM, bangsa dari Irak itu meruntuhkan al-Aqsha dan membakar Tabut Perjanjian, termasuk di dalamnya mushaf-mushaf Taurat. Ketika akhirnya kaum Yahudi kembali ke al-Quds berkat kebaikan Koresh Agung, tak ada di antaranya yang hafal seluruh Taurat. Maka begitu di tanah suci, sebagian mereka menulis Taurat dari pemikiran sendiri atau, kalaupun ada, hafalan-hafalan yang tersisa dari Taurat asli.
Sementara, al-Aqsha sudah ada jauh sebelum Bani Israil ada. Dan, Allah telah menetapkan kawasan suci itu sebagai lokasi berdirinya tempat ibadah, bukan tempat untuk menyekutukan-Nya. Dengan demikian, menurut Mahdy, Masjid al-Aqsha sudah ada sebelum Sulaiman. Lalu, sang nabi datang, membangun dan memperbaikinya. Maka jadilah masjid Islam, sedangkan tanahnya milik bangsa Palestina.
Apa dan siapa Zionis/Israel?
Adanya entitas bernama Israel kini merupakan Zionis dalam wujud negara. Secara kebahasaan, zionis berarti mereka yang mendambakan “kembali ke Bukit Zion”, yakni sebuah kawasan geografis di Baitul Makdis (disebut pula Yerusalem), Palestina.
Kongres pertama Gerakan Zionis Internasional diselenggarakan di Basel, Swiss, pada 1897. Tokoh utamanya ialah seorang aktivis Yahudi dari Austro-Hongaria, Theodor Herzl. Dia dan para pendukungnya mendambakan negara bagi seluruh orang Yahudi, yang saat itu hidup terpencar-pencar di berbagai belahan dunia.
Bagaimanapun, sebelum tahun 1897 zionisme sesungguhnya sudah ada, tetapi wujudnya masih sebuah “kepercayaan tradisional.” Dalam arti, orang-orang Yahudi mempercayai bahwa Tuhan telah berjanji kepada Nabi Musa untuk menganugerahkan Yerusalem kepada bangsa Yahudi. Karena itu, mereka meyakini, kota suci tersebut suatu saat akan menjadi miliknya untuk selama-lamanya.
Sejak kongres di Basel pada 1897 itu, mengemukalah apa yang disebut Zionisme politik. Ini tidak sama seperti yang diusung Yahudi tradisional atau “Yahudi asli.” Zionisme tradisional meyakini, kembalinya mereka ke Bukit Zion hanya terjadi ketika sang Raja Yahudi alias juru selamat (messiah) telah datang di antara mereka. Messiah ini akan memimpin mereka untuk mengambil alih Yerusalem.
Sementara, zionisme politik yang diusung Herzl dan para pendukungnya memandang, pengambilalihan Bukit Zion (baca: Palestina) tidak perlu menunggu kedatangan sang juru selamat. Bagi mereka, kaum Yahudi harus aktif sendiri dan merebut “tanah yang dijanjikan” itu dengan cara apa pun. Perpecahan antara zionisme tradisional dan politik sebenarnya sudah tampak bahkan sebelum kongres di Swiss tersebut.
Faktanya, hampir seluruh pendiri Gerakan Zionis Internasional adalah keturunan Yahudi imigran dari Eropa, bukan Timur Tengah. Nyaris mereka semua pun adalah Yahudi Ashkenazi.
Ada berbagai hipotesis tentang asal mula Ashkenazi. Ernest Renan (1823-1892), filsuf Prancis yang juga pakar sejarah Semit mengemukakan Teori Khazaria. Mengutip karyanya, Judaism as a Race and as a Religion (1883), ia berpendapat, Yahudi Ashkenazi adalah keturunan bangsa Khazar yang pernah berjaya di Asia Tengah.
Mereka tidak berasal dari Kanaan (Palestina). Justru, asalnya adalah bangsa Turki—merujuk pada Asia Tengah, bukan negara Turki modern—yang kemudian memeluk agama Yahudi. Sesudah bangsa Mongol menyerbu Imperium Khazaria di utara Laut Kaspia, lanjut Renan, mereka pun bermigrasi ke Eropa. Bahasa yang dipakainya bukanlah Ibrani, seperti kebanyakan kaum Yahudi penghuni Kanaan, melainkan Yiddish.
Baru-baru ini, muncul riset tes genetik terkait Yahudi Ashkenazi. Itu dilakukan seorang ahli genetika dari Universitas John Hopkins School of Public Health, Eran Elhaik. Pada 2013, ilmuwan Israel ini mempublikasikan hasil penelitiannya dalam artikel “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypothese.”
Ia menemukan, genom orang Yahudi Ashkenazi didominasi komponen Khazaria hingga 30-38 persen. Sementara, komponen Timur Tengah-nya sangat kecil. Artinya, mereka sangat sulit untuk dianggap berasal dari Tanah Kanaan atau Palestina. Elhaik juga mengungkapkan, adanya kesamaan genetika antara Yahudi Ashkenazi dan populasi Kaukasus bila ditinjau dari garis ayah, berdasarkan riset atas Y-Chromosom DNA, maupun garis ibu, bila dilihat dari Mitochondrial DNA.
Maka, bagaimana mungkin Yahudi Ashkenazi mengeklaim Yerusalem sebagai tanah airnya, padahal nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah atau Kaukasus?